NAMA
: SYAMSUL BACHRI (PEKSIMINAS XI MATARAM)
KONTIGEN
: KAL-TIM (TARAKAN)
UNIVERSITAS
BORNEO TARAKAN
“KERTAS PELANGI”
Doktrin
yang sering aku dapatkan di televisi membuat hatiku sangat resah karena
sejumlah berita di televisi menayangkan
berbagai macam konflik, sangat membuat masyarakat menjadi tertekan dengan sistem yang sedang terjadi
walau hanya menyaksikan dari kaca hitam putih merek Nasional.
Berbagai
macam pemahaman sederhana mulai timbul dan menyerang dengan perlahan, Sholeh
yang selalu duduk di depan televisinya berkedip-kedip tak karuan, banyak peristiwa
yang disaksikannya dengan memotong pembicaraan di televisi
“
Ah aku binggung” celetukan dari Sholeh
Dani
yang terlihat di kaca hitam putih memasang tampang murah senyum, menjelaskan
segala permasalahan masyarakat tentang segala hal. “ kalian semua harus tahu
saya akan mengeratiskan Sekolah, terutama di bidang kesehatan dan akan
meningkatkan dibidang Teknologi”. Sholeh hanya tersenyum melihat televisi itu
bicara sendiri. Bukan berarti Soleh tak tahu apa-apa tentang apa yang di
bicarakan Dani, tapi soleh tak bisa menyampaikan aspirasinya karena Soleh hanya
terkurung di kamarnya tak mampu berbuat apa-apa. Bukan karena dia hanya
pecundang yang bisa berteriak-teriak di depan Televisi, tapi Sholeh mempunyai
suara yang sah sebagai warga masyarakat.
Soleh
meneruskan tontonanya dengan cermat, Dani terus saja bergumam dengan
ocehan-ocehan seperti ubi jalar yang berisi di dasar tanah dan bila akan
dipanen belum tentu empuk dan gurih saat dihidangkan dimeja makan sebagai
makanan pembuka. Soleh selalu tersenyum
apapun yang Dani katakan. “ aku selalu percaya apa yang mereka katakan tapi
harus aku proses dulu lewat Neuron yang berada dalam otak kiri ku” Soleh
bergumam tak jelas.
Prit...
prit... prit...
Minggir
kata bapak berbaju putih yang mirip seorang Pilot namun bapak yang satu ini
hanya menjaga gedung-gedung bertingkat saja dia tidak terbang seperti seorang Pilot.
“Hey
apa kau mendengar peluitku berbunyi” Soleh melirik bapak itu dan berkata
“ Maaf Pak” tangannya terlipat bersamaan
didepan dadanya sambil menuju pinggir parkiran.
Semprul
hampir saja jantungku copot, untung saja Labirin dalam telingaku tidak berefek
mendengung.
“Baiklah aku sekarang mau menuju lobi untuk
menanyakan apakah aku boleh kelantai tujuh tempat para tokoh terkenal itu
berkumpul dan ikut meramaikan?.”
“Anda
siapa?” kata bapak berbaju batik,
“Sepertinya
bapak anggota pasukan milenium yah pak” celetuk Sholeh!
“Oh
bukan saya hanya pegawai disini”
“Boleh
saya masuk?”
“Maaf
bapak hanya orang yang berkepentingan saja yang boleh masuk” Bapak itu memasang
senyum palsu.
Seperti
yang ku duga pasti tak boleh masuk, padahal aku hanya berniat menjadi penonton
saja, aku merasa bosan hanya didepan layar hitam putihku yang sudah kusam
tak terawat itu, yah apa mau di kata,
walau aku marah-marah seperti Daksinal
itupun tak ada gunanya. Saat keluar gerbang Sholeh melihat seseorang dengan
gerobak sayurnya dikerumuni ibu-ibu yang sedang memilih sayur-sayuran tapi aku
merasa ada yang aneh dengan penjual sayuran ini, dia memakai sayap seperti Superman
dan merkacamata mirip Robinhood.
“Pak
jual sayur ?” menepuk bahu bapak bersayap itu.
“Oh
ia dik saya jualan sayur !”
“Boleh
tanya pak?”
“Boleh
apa yah !”
“kok
pake sayap dan kacamata seperti Superhero pak” celetuk Sholeh dengan sambil
tersenyum.
“Oh
ini saya sering liat di televisi dik kan belum ada tukang sayur dandanannya
seperti saya”
“Alasanya
pak?” soleh sedikit bingung dengan perawakan bapak yang satu ini.
“Begini
dik, saya ini penggemar Superhero jadi saya berinisiatiaf agar saya membuat
sesuatu yang beda dik, saya nyontek juga si sama Bapak-bapak yang sering Janji-jaji
manis di televisi merekakan suka membuat sesuatu yang beda. Kenapa gak saya
tiru, mereka aja bisa buat sesuatu yang beda masak saya sebagai tukang sayur
gak bisa.!”
Soleh
berfikir lama, Ia juga yah kan manusia ini dilahirkan kedunia dengan sempurna,
diberi semuanya tak ada satupun yang dibeda-bedakan, secara Ilmiah otak
manusiapun mempunyai kapasitas yang sama, tapi kenapa berbeda yah? Menurut
penjelasan ahli otak, manusia mempunyai
otak yang sama tapi cara untuk berfikir yang berbeda itu dikarenakan lingkungan
dan faktor Genetik. Kurasa itu sebabnya
berbeda, seperti bapak Superhero ini walau jual sayur tapi kreatifitanya
tinggi.
“Pak
maaf yah mengganggu mari pak!”
“Ya
sama-sama dik”
***
Seharian
ini aku lelah dengan semuanya karena aku bukan robot yang bisa mengerjakan
segalanya, sama seperti hidup ini yang sudah tak karuan. Dulu aku seorang
pegawai pajak yang setiap harinya mengurusi soal tanah, bangunan, dan masih
banyak lagi yang setiap harinya aku
kerjakan, kalau Cuma untuk makan saja uangku pasti lebih, tapi sekarang aku di
PHK duniaku menjadi carut marut tak karuan. Nasip yang membawaku kerumah kecil
dan sumpek ini, dikerumuni pemulung yang selalu saja ribut dengan
plastik-plastik bekasnya. Bayangkan itu hanya pelastik bekas, apa lagi barang
yang nilainya tinggi mungkin akan ribut tak karuan, mungkin juga bisa terjadi
perang yang diatur sedemikian rupa. Aku bosan cari makan aja susah dan mesti
ribut dulu.
Tit...
Pip...
Televisi
lima belas in itu menyala dengan remot control yang dipegang Sholeh, lagi-lagi
yang muncul Dani dengan perawakan aneh dan lagi-lagi juga menjelaskan tentang
hal-hal sarana gratis dan kesehatan masyarakat, menurut Sholeh menonton Dani
seperti tersuntik Androfak, dalam istilah kedokteran seperti bakteri yang masuk
melewati jarum impus. Sholeh tak mau menonton tapi apa boleh buat setiap
harinya hanya wajah Dani yang disorot kamera dan mengangkat telunjuk dan jari
tengahnya ke atas, bukan berarti damai, mungkin ini seperti nomor urut pilihan
yang selalu dipamerkan agar dikenal masyarakat.
Saat
Dani menaiki podium dia memberikan salam dan mengangkat telunjuk dan jari
tengahnya keatas serta memperlihatkan bendera bergambar Kucing yang sedang
mengejar Tikus, bendera itu bernomor dua berwarna biru keemasan. Melantunkan Puji-pujian
ke arah penonton yang seperti seporter bola hanya dengan baju yang sama warana
dan coraknya.
Setiap
kali Dani muncul di Televisi selau dikota yang berbeda dan kegiatan yang berbeda,
Sholeh merasa Dani adalah sosok yang cerdas dan bijaksana mungkin dia tau
dimana tempat dia berda seperti di Film layar lebar yang selalu berganti seting
dan latar, sehingga yang menyaksikan menjadi terkesima dengan alur yang dibuat,
begitu juga dengan halnya Dani mencoba membuat terkesima ribuan manusia agar
mengenal sosoknya yang baik, bijaksana, adil, serta peduli dengan masyarakat
miskin.
Soleh
tetap saja tak percaya dan selalu ragu dengan apa yang dilihatnya kata Sholeh
“
Aku takut ini hanya sesaat saja dan membuat masyarakat menjadi gemetar dengan
sistem yang mengekang dan menjadi ribut diantara Kota-kota yang mengangkat
panah, tombak, sumpit, parang mandau mungkin juga mereka menarikan tarian
perang.”
Bib...
tit...
Sholeh
mematikan televisi lima belas in kepunyaannya dengan segera karena Sholeh akan
pergi kepasar untuk beberapa alunan
perutnya yang mengelembung dan berbunyi nyaring.
Brum...
sepeda roda dua dengan plat 1244 BR menyala dengan stater yang ditekan dengan
perlahan diiringi gas yang memuncak, “Aku berangkat kawan” teriak Sholeh
mengarah kepada Anggora peliharaannya yang selalu menunggu didepan pintu,
selain menjaga rumah kucing ini juga pandai memburu tikus yang berkeliaran
dirumah Sholeh, aku selalu menyapa Anggora agar dia selalu mengingatku lebih
dalam lagi, mungkin aku adalah majikan yang baik. Karena aku mempunyai semboyan
“Pikirkanlah dan Lakukanlah” ketika kau hanya memikirkan saja tapi tidak
melakukan apa-apa maka tidak akan pernah menghasilkan apa-apa juga, Begitu pula
sebaliknya. Itu yang selalu ku pegang agar bisa berusaha dengan keras dan tekun
karena aku tipe orang yang ingin selalu belajar dengan pemahaman sederhana tapi
harus dijabarkan seluas mungkin bukan hanya
pajak tanah dan lain-lain masi banyak yang aku tahu karena aku belajar
dan terus belajar
“Namaku Sholeh” terus bergumam hingga tiba
dipasar seliwang.
***
“Bu
Sholeh ingin sekolah yang tinggi biar bisa jadi pengusaha yang sukses !”
“Ibu
selalu mendoakanmu nak asal kamu mau terus berusaha tanpa meminta pamrih dari
orang lain”.
Ucapan
itu yang selalu Sholeh ingat agar terus berusaha dengan keras untuk mencapai
impiannya walau hari ini pun masih menjadi pengangguran berat, bukan tak usaha
tapi Sholeh tak mau bekerja ditempat yang berurusan dengan mengurusi kertas
merah yang tidak bisa bicara tapi membunuh, Sholeh hanya ingin mempunyai usaha
sendiri dan menggaji karyawannya dengan kertas pelangi kepunyaannya sendiri.
Bukan sejumlah kertas pelangi milik orang lain dia berfikir akan susah
mencampuri kertas pelangi milik orang lain.
Angin
deras berhembus kencang menghembuskan seluruh badan Sholeh yang baru pulang
dari pasar, matanya membesar, bibirnya terbuka dan bersempayangan kemana-mana,
air liurnyapun terkena mukanya sendiri, bagaimana tidak barang bawaannya melebihi
kapasitas, sayur mayur mengelilingi sepeda motornya dengan kantung palastik
yang berwarna warni, kardus besar tepat didepan badannya terselip diantara
ruang yang melengkung, hanya wajahnya yang terkena angin puting beliung,
liurnyapun telempar kemana-mana mungkin gas nya terlalu di atas rata-rata
bahkan tak bisa diturunkan, jok belakang pun terisi dengan kardus yang sudah di
ikat rapi. Sholeh binggung ketika ingin berbelok arah karena setang sepeda
motornya terjepit dengan barang, jalan Sholeh mulai oleng tak karuan kiri kanan
berbelok-belok seperti ular kobra.
Tit...
tit.. tit...
Kelakson
berbunyi dari arah depan Sholeh tak mampu meghindar dengan barang dan sayur
yang bertumpuk, akhirnya belanjaan Sholeh berhambur kemana-mana.
Sholeh tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi. Buah jeruk
berhamburan di jalanan, sayur sholeh pun tak segar lagi karena di Injak-injak
orang yang melihatnya, motor Sholeh penyok berbentuk angka delapan. Sekarang Sholeh
banyak dilihat orang orang yang sedang berkerumun karena Sholeh sangkut
diantara tiang baleho dipinggir jalan. Lidahnya tejulur, giginya hilang
seberapa bagian, pelipis matanya lebam, labirin dalam telinganya mengeluarkan
cairan merah pekat. Sekarang Sholeh sekarat tak berdaya, tak ada lagi gumaman
dari Sholeh tentang berita-berita yang ditontonya dari kaca hitam putih lima
belas in kepunyaannya.
Sholeh
melihat dengan buram seperti kaca spion yang terkena embun pagi, tak mampu
bicara hanya merasakan sakit yang luar biasa hebatnya, untung saja yang
menabrak Sholeh bertanggung jawab dan tidak lari begitu saja, akhirnya Sholeh
pingsan tanpa suara, gelap tak ada cahaya, tak ada rasa dan tak ada beban.
“Dok
bagaimana keadaan pasien yang saya tabrak ini dok”
“Begini
pak, keadaannya sudah sedikit membaik hanya luka dalam yang agak lama terobati
nati kita akan coba ronsen dan memerikasa secara teliti apakah ada bagian dalam
yang rusak atau patah, bapak tunggu saja saya rasa keadaannya akan segera
membaik.”
“Terimakasih
dok”
“Ya
sama-sama” menjulurkan tangan dan berjabat.
Seminggu
kemudian Sholeh sadar dan membuka mata dengan perlahan, matanya seperti berbinar-binar tebuka dengan
perlahan-perlahan menjadi jelas dan bersih pandangan Sholeh semakin lama
semakin baik dan memjadi normal.
Sholeh
bingung menayakan sayuran dan Buah-buahan serta menanyakan sepeda motornya, “apa
yang terjadi?” Dokter menjelaskan dengan perlahan agar Sholeh mengerti dengan
keadaannya.
“Aku ditabrak” jerit Sholeh kaget, seingatku
aku pulang dari pasar gas sepeda motorku melengket dan remku blong, barang
bawaanku juga banyak sapai-sampai air liur yang terkena pipi kananku tak mampu
ku bersihkan sepeda motorku sangat laju, aku rasa itu hari naasku.
“Terimakasih
banyak dok”
“Jangan
sepenuhnya berterimakasih kepada saya, tapi berterimakasihlah kepada pak Dani
yang membawamu kerumah sakit ini kalau sedikit saja terlambat mungkin kamu
sudah tak ada lagi di dunia ini.”
Sholeh
terus berfikir, aku merasa sangat mengenal nama ini, begitu tak asing
ditelingaku. Jangan-jangan dia Dani si tukang janji dan selalu mengandalkan
ilmu Retorika saat dihadapan banyak
orang berbaju dan corak yang sama tapi apa mungkin dia kurasa hanya namanya
saja yang kebetulan mirip.
Beberapa
hari kemudian Sholeh sudah terlihat segar, dan bisa berjalan dengan senyum yang
seperti biasanya. Hari ini juga Sholeh boleh pulang dan bertemu pak Dani di
loket pembayaran, Sholeh mulai menyimpun barangnya serta bersiap siap untuk
pulang kerumahnya yang kecil dikerumuni rumah pemulung yang terbuat dari
kardus, mungkin rumah Sholeh paling elit diantara rumah-rumah tetangganya,
walau dia hanya bekas pegawai pajak tapi rumahnya paling elit diantara kardus-kardus
yang berderet disamping rumahnya.
Diloket
pembayaran pak Dani sudah menunggu beberapa jam sebelumnya, bermaksut mengantarkan
Sholeh pulang kerumahnya. Dilorong poli klinik gigi, kulit, THT, Sholeh
berjalan dengan jalan khasnya menonjolkan dadanya dan mengayunkan tangannya
dengan beberapa gaya bergetar. Gaya itu terlihat tak beraturan, sangat bergaya
kelas pemulung. Ketika Sholeh diujung lorong terlihat seorang pria yang tak
asing dari pandangannya, postur tubuhnya XL dan tingginya 165 cm. Sholeh kaget
dia adalah pak Dani yang sering dilihatnya dari televisi dia menyebut pak Dani orang beraliran Hegimoni, seperti peri yang berterbangan mengeluarkan sulap kecil,
menghambur-hamburkan bubuk emas disekeliling tubuhnya dan memakai tongkat
sihir. Sholeh berdiri didepannya berlagak tak mengenali pak Dani dan berbicara
seperti biasanya tanpa ada mimik yang gembira. Pak Dani menjulurkan tangannya
meminta maaf atas perbuatanya dan memberikan amplop berisi kertas pelangi, yang
lebih menarik lagi sepeda motor milik Sholeh berplat baru dan berganti model.
“Pak
seharusnya saya yang banyak berterimakasih kepada bapak karena mau menolong
saya”
“Tidak
nak Sholeh saya hanya bermaksud bertanggung jawab atas perbuatan saya!”
cetusnya,
“Bukan
begitu pak saya yang harus berterimakasih atas kebaikan dan tanggung jawab
bapak tapi saya minta maaf pak kalau masalah bapak menanggung kertas berwarna
pelangi karena untuk pengobatan saya, serta mengganti sepeda motor saya, itu
saya terima pak! tapi kalu amplop ini saya tidak bisa pak mohon maaf
sebesar-besarnya bukan saya menolak tapi saya sudah merasa puas dengan sepeda
motor dan ditanggung biaya rumah sakit.”
Aku
tak terbiasa menerima amplop berisi kertas pelangi jika tak bekerja dulu, aku
hanya ingin melakukan pekerjaan baru mendapat upah bukan dengan cara praktis,
aku hanya ingin belajar dari pengalamanku sendiri, gumaman Sholeh terus
berlanjut hingga Tikus-tikus dirumahnya kabur diburu kucing kesayangannya Anggora.
Sholeh tak mau diantar dengan pak Dani dia lebih suka menunggangi sepeda
motornya berplat yang baru serta menonton Televisi dirumahnya lagi berharap tak
ada lagi tontonan tentang pak Dani, karena masa itu telah habis sebab masa itu
datang hanya lima tahun sekali.
Pak
Dani sekarang duduk dikursi panas sedangkan Sholeh asik mengantar surat
kerumah-rumah warga karena sekarang dia menjadi tukang antar surat di kantor
pos. Walau tak menjadi pengusaha seperti yang dicita-citakannya, tak mengapa
tukang pos juga lebih terhormat dan lebih berharga karena tukang antar surat
tak berurusan dengan kertas pelangi yang selalu bikin ribut dan bikin resah
warga. Yang jelas aku tidak membuat sistem, aku juga tak membuat UUD, dan aku
juga tak ribut tanpa makna. Sekarang aku hanya sibuk mengantar surat-surat
dengan alamat lengkap pasti akan sampai tujuan.
Sepeda
motor bergambar setengah sayap lebih baik. Siulan Sholeh mengiringi hari-harinya
dengan perasaan yang tenang, tak ada lagi bendera berhamburan dipingir jalan
dengan gambar-gambar pohon dan gambar-gambar binatang.
Aku
bebas semoga Surat-surat yang ku antarkan selalu tepat pada alamatnya.
“TAMAT”